Proses Historis Kelahiran Pancasila

Kelahiran Pancasila


Belajar Daring - Proses Historis Kelahiran Pancasila. Pada artikel kali ini Admin akan menyampaikan informasi mengenai sebuah Proses Historis Kelahiran Pancasila.

Pancasila hadir melalui proses historis yang mengiringi kelahiran sebuah negara yang bernama Indonesia. 

Persiapan kemerdekaan Indonesia melalui para tokoh pendiri bangsa meletakkan Pancasila sebagai simpul kesepakatan yang fundamental. 

Berbagai pikiran yang mengemuka pada saat itu merujuk kepada pentingnya dasar sebuah negara yang diimajinasikan bersama.

Kesadaran untuk mendirikan sebuah negara berdaulat tidak berangkat dari mimpi di siang bolong. 

Dia merupakan tumpukan memori yang diinisiasi atas kenyataan sejarah pergulatan bangsa. 

Sebuah bangsa yang mendiami deretan kepulauan yang membentuk lanskap geografis yang khas. 

Kawasan unik dan eksotik yang hanya satu-satunya ada di muka bumi, diapit oleh dua benua dan dua samudera. 

Kawasan inilah yang memicu dan memancing peristiwa besar penjelajahan samudera oleh bangsa Eropa untuk mencari pusat rempah-rempah dunia di dunia timur Nusantara.

Berangkat dari memori kerajaan besar samudera Sriwijaya dan Majapahit serta berbagai kerajaan-kerajaan berdaulat, yang silih berganti di kota-kota kepulauan Nusantara, bangsa Indonesia menetapkan kedaulatannya sendiri. 

Dari Aceh hingga Papua, dari Sangihe hingga Rote tidak berhenti denyut nadi kehidupan bangsa yang telah mengerti arti berdaulat atas dirinya. 

Kehidupan ini tercermin dari relasi politik, ekonomi, hukum, bahasa, dan sosial yang saling terhubung di antara mereka. 

Hal ini akan terbukti dan secara efektif digunakan untuk mendirikan Indonesia kemudian.

Kebutuhan untuk mendirikan suatu negara merupakan bawaan jiwa bangsa Indonesia yang mendambakan kemerdekaan abadi. 

Hingga tiba masanya perubahan besar geopolitik dunia dipengaruhi oleh dua perang dunia yang semakin mendekatkan pintu kemerdekaan Indonesia. 

Kematangan dan kedewasaan bangsa ini tercermin dari saling bahu-membahunya para pendiri bangsa menyiapkan Indonesia yang merdeka. 

Khususnya pada saat perumusan dasar yang diperlukan untuk mendirikan suatu negara.

Rekaman sejarah pendirian negara dalam forum=forum persiapan mendirikan negara Indonesia menunjukkan relasi yang erat antar pendiri bangsa. 

Secara formal perumusan tersebut diwadahi dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) hingga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 

Bukan sebuah kebetulan, jika peristiwa tersebut terjadi pada saat perubahan geopolitik besar dunia menjelang berakhirnya PD II tahun 1945. 

Hal ini hanya menunjukkan kejelian dan kecerdasan memanfaatkan momentum yang ada agar mimpi memiliki negara yang berdaulat segera terwujud. 

Tidak mungkin momentum tersebut jatuh dari langit begitu saja, kecuali dari usaha dan ikhtiar tiada henti dari perjuangan kemerdekaan jauh-jauh hari.

Kelahiran merupakan salah satu bagian dari siklus kehidupan. Kelahiran menandai fase perubahan dari sesuatu yang potensial menjadi aktual manifes. 

Begitu pula dengan Pancasila yang lahir melalui rahim ibu pertiwi. 

Yudi Latif memberikan penjelasan perumpamaan kelahiran Pancasila melalui fase pembuahan, fase perumusan, dan fase pengesahan (Yudi Latif, 2015).

Melalui fase pembuahan, Pancasila digambarkan sebagai gagasan yang dimulai dari kesadaran sejarah yang muncul sejak Indonesia belum merdeka. 

Pancasila bukan lahir tiba-tiba begitu saja, tetapi erat kaitannya dengan perjuangan jauh sebelumnya atas cita-cita menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. 

Batas kesejarahan pada fase ini dapat dirujuk kepada memori yang dekat atau pun yang jauh. 

Memori yang jauh dapat dihubungkan seperti halnya leluhur kita yang selalu berdoa agar anak keturunannya kemudian menjadi manusia yang berguna. 

Sementara memori yang dekat terkait dengan patok-patok sejarah berdasarkan catatan dan dokumen sejarah yang otentik.

Sejarah Pancasila yang tercatat, meminjam Yudi Latif, merujuk sejak 1924 tatkala Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda merumuskan konsepsi bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada 4 (empat) prinsip, yaitu sebagai berikut: 

  • Persatuan Nasional, 
  • Solidaritas, 
  • Non-Kooperasi, dan 
  • Kemandirian. 

Tan Malaka menuliskan manifestonya melalui buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada tahun yang sama. 

Berikutnya Tjokroaminoto juga mulai mengungkapkan gagasan sintesis Islam, sosialisme dan demokrasi. 

Hingga kemunculan “Sumpah Pemuda” pada tanggal 28 Oktober 1928 yang monumental (Yudi Latif, 2015: 5-8). 

Pada tahun yang berdekatan 1926 Soekarno menulis tentang “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” yang mengupas tentang 3 (tiga) sintesis gagasan besar menuju persatuan Indonesia. 

Kemudian disusul di media yang sama Suluh Indonesia Muda tahun 1928 Soekarno juga menulis tentang “Indonesianisme dan Pan-Asiatisme” yang mengungkap tentang pergolakan bangsa Asia atas penjajahan (Iman Toto K. Rahardjo & Suko Sudarso, 2006). 

Imajinasi tentang kemerdekaan begitu bergelora pada masa-masa permulaan abad 19 dalam suasana penjajahan Belanda di kalangan pemikir bangsa. 

Perasaan untuk merdeka dari penjajahan menuntut mereka memberikan visi tentang bagaimana seharusnya menjadi negara yang merdeka. 

Ketika Belanda dikalahkan Jepang, bangsa Indonesia hanya menyaksikan pergantian majikan. 

Karena tuntutan untuk mendapatkan simpati dari bangsa Indonesia, Jepang menebar propaganda yang mempesona dengan menyebut dirinya sebagai saudara tua hingga janji untuk memberikan kemerdekaan. 

Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa keberadaan negara sebagai entitas yang berdaulat untuk mengatur dirinya sendiri merupakan kondisi umum. 

Bangsa tidak akan bersatu tanpa adanya negara, negara tidak akan kuat tanpa persatuan dan solidaritas bangsa. 

Fase ini masuk pada perumusan negara yang di dalamnya berdasarkan Pancasila. 

Dasar negara merupakan ketentuan fundamental yang di atasnya segala perbedaan disatukan dan dikembalikan. 

Syarat-syarat mendirikan sebuah negara memerlukan kesepakatan bersama. 

Tanpa kesepakatan tersebut telah terbayang bagaimana ringkihnya mendirikan suatu negara yang akan menyatukan segenap elemen yang berbeda-beda. 

Hal inilah yang dibahas dalam sidang-sidang BPUPK. BPUPK didirikan pada 29 April 1945 atas janji Jepang bahwa Indonesia akan diberikan kemerdekaan dan beranggotakan 69 orang yang dipimpin oleh Radjiman Wediodiningrat (Yudi Latif, 2015: 9). 

Persidangan BPUPK dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap, tahap pertama tanggal 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 dan tahap kedua tanggal 10 Juli 1945 hingga 17 Juli 1945 (“Lahirnya Pancasila”, 1947). 

Secara formal, bangsa Indonesia telah menunjukkan kemampuan untuk menentukan nasib sendiri melalui rembukan nasional melalui BPUPK. 

Dan deklarasi penentuan nasib sendiri itu diwujudkan melalui Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 atas kejeniusan dan kecerdasan para pendiri negara melihat perkembangan yang terjadi saat itu.


Kelahiran Pancasila
Suasana Sidang BPUPKI


Ketika BPUPK bersidang, sudah muncul berbagai usulan atas dasar apa negara Indonesia berdiri. 

Meskipun istilah Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945, tetapi sebelumnya telah dipaparkan oleh segenap peserta sidang tentang pandangannya atas dasar negara. 

Yudi Latif menilai aneka ragam pandangan yang diajukan dalam persidangan tersebut masih bersifat serabutan, meskipun secara prinsip telah tertanam kesepahaman atas ragam pandangan tersebut yang mengacu pada pentingnya nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai demokrasi permusyawaratan, dan pentingnya nilai keadilan/ kesejahteraan sosial (2015: 10-11). 

Fokus utama yang dibahas sesuai dengan arahan ketua sidang Radjiman Wediodiningrat, “apa dasar negara ini?”

Istilah Pancasila baru terungkap ketika Soekarno menyampaikan pidato tanpa teksnya tentang dasar negara tanggal 1 Juni 1945. 

Soekarno menilai apa yang telah disampaikan anggota BPUPK sebelumnya belum menjawab secara tegas pertanyaan tentang dasar negara.

Bagian pidato Soekarno yang menjawab pertanyaan Ketua sidang BPUPK saat itu yakni sebagai berikut:

“... Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische grondslag” dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi…” (“Lahirnya Pancasila”, 1947: 1-2).

Mohammad Hatta menuturkan bahwa ketika,

“... Ketua Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia membuka sidang panitia itu dengan mengemukakan pertanyaan kepada rapat; “Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bangun itu, apa dasarnya? Kebanyakan anggota tidak mau menjawab pertanyaan itu karena takut pertanyaan itu akan menimbulkan persoalan filosofi yang akan berpanjang-panjang. Mereka langsung membicarakan soal Undang-Undang Dasar. Salah seorang dari pada anggota Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia itu, yang menjawab pertanyaan itu ialah Bung Karno, yang mengucapkan pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, yang berjudul Pancasila, lima sila, yang lamanya kira-kira satu jam..” (Mohammad Hatta dkk, 1984: 101).

Setelah Soekarno menguraikan tentang Philosofische Grondslag dalam bentuk Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme/ Perikemanusiaan, Mufakat/ Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan, maka dia menyebutkan penamaannya dengan Panca Sila. 

Katanya,

“... Saudara-saudara ‘Dasar-dasar Negara’ telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera. Apa lagi yang lima bilangannya?

(Seorang yang hadir: Pendawa lima).

Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi…” (“Lahirnya Pancasila”, 1947: 35).

Setelah sidang 1 Juni 1945 tersebut kemudian dibentuklah Panitia Kecil guna menindaklanjuti hasil persidangan BPUPK. 

Menurut Yudi Latif, Panitia Kecil yang dimaksud sebagai keputusan Sidang BPUPK berbeda dengan Panitia Kecil yang dikenal dengan Panitia Sembilan yang akan melahirkan Piagam Jakarta. 

Meskipun tetap ketua panitia kecil tersebut dipimpin oleh Soekarno. 

Panitia kecil yang dinamakan dengan Panitia Sembilan bertugas untuk menyusun rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang di dalamnya termuat dasar negara (Yudi Latif, 2015: 21-23). 

Hasilnya adalah perbaikan sila-sila yang ada dalam pidato Pancasila 1 Juni 1945 menjadi Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mohammad Hatta memberikan penuturan lebih lanjut atas peristiwa Piagam Jakarta tersebut. 

Menurutnya,

“... Sesudah itu sidang mengangkat suatu Panitia kecil untuk merumuskan kembali Pancasila yang diucapkan Bung Karno itu. Di antara Panitia kecil itu dipilih lagi sembilan orang yang akan melaksanakan tugas itu, yaitu: Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Ahmad Soebardjo, Wahid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin.

.... Pada tanggal 22 Juni 1945 pembaruan rumusan Panitia 9 itu diserahkan kepada Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia dan diberi nama “Piagam Jakarta”. Kemudian seluruh Piagam Jakarta itu dijadikan “Pembukaan” Undang-Undang Dasar 1945, sehingga “Pancasila dan Undang-Undang Dasar” menjadi “Dokumen Negara Pokok”...“ (Mohammad Hatta dkk, 1984: 101-102).

Akhirnya kesepakatan para pendiri bangsa mendasarkan kepada persetujuan atas Pancasila yang dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1945, disempurnakan melalui Panitia Sembilan yang mencetuskan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 ditetapkan sehari setelahnya pada Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai fase pengesahan seperti Pancasila yang kita kenal sekarang. 

Adapun Pancasila dengan sila-sila nya yaitu sebagai berikut: 

  • Ketuhanan yang Maha Esa, 
  • Kemanusiaan yang adil dan beradab, 
  • Persatuan Indonesia, 
  • Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/  perwakilan, dan 
  • Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perjalanan historis Pancasila bagi bangsa Indonesia melalui fase-fase alamiah merupakan sesuatu yang lazim dalam dunia pendidikan. 

Pendidikan sebagai proses menuntun perkembangan manusia menuju kesempurnaan memiliki relasi yang dekat dengan Pancasila. 

Kita bisa saksikan tumbuh tenggelamnya sebuah peradaban dan gagasan sejak manusia menghuni muka bumi. 

Sehingga bagaimana Pancasila bisa abadi dan bertahan di bumi Indonesia relevan dalam dunia pendidikan yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak-anak hingga orang tua. 

Inilah tantangan dunia pendidikan di Indonesia untuk memahami bagaimana Pancasila tumbuh dan berkembang dalam segenap sanubari anak bangsa sepanjang hayat.

Itulah penjelasan di atas yang dapat Admin informasikan mengenai sebuah Proses Historis Kelahiran Pancasila, semoga dapat bermanfaat.

Terima Kasih.

Selamat Belajar Daring.


Daftar Pustaka

  • Hatta, Mohammad dkk. Uraian Pancasila Dilengkapi dengan Dokumen Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Jakarta: Penerbit Mutiara, Cetakan kedua: 1984.
  • Lahirnja Pantja Sila: Boeng Karno Menggembleng Dasar-dasar Negara, Jogyakarta: Oesaha Penerbitan Goentoer, 1947.
  • Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kelima Desember: 2015.
  • Malaka, Tan. Naar de Republiek Indonesia: Menuju Republik Indonesia, Malang: Sega Arsy, 2014.
  • Rahardjo, Iman Toto K & Suko Sudarso. Bung Karno, Islam, Pancasila & NKRI, Jakarta: Komunitas Nasionalis Religius Indonesia, Desember: 2006.

Posting Komentar untuk "Proses Historis Kelahiran Pancasila"